Home / Opini / Padang Till I Die: Nyanyian, Cinta, dan Perlawanan di Tribun Kiri

Padang Till I Die: Nyanyian, Cinta, dan Perlawanan di Tribun Kiri

Oleh : Esa Permana
“Padang till I die, I’m Padang till I die” — sepenggal nyanyian suporter yang hampir selalu terdengar saat Semen Padang FC melakoni laga. Tapi bagi saya, yang berdiri tegak dan lurus di pojok paling kiri tribun, Semen Padang FC bukan sekadar klub sepak bola. Ia adalah cinta, euforia, dan gairah. Klub ini menjadi alasan mengapa kami saling bertemu, menemukan semangat yang sama, dan menjadikan tribun sebagai ruang berbagi suka dan duka.

Dalam sepak bola, kita tak hanya menemukan cinta dan semangat, tapi juga menyaksikan dengan jelas berbagai bentuk kesenjangan. Seperti yang pernah ditulis oleh kawan saya, Redho Rama Putra, dalam tulisannya “Sepakbola Itu Urusan Kuasa.” Ia menyebut bahwa sepak bola memiliki dua wajah. Di satu sisi, ia adalah hiburan rakyat; di sisi lain, ia adalah arena kekuasaan—politik, narasi, dan modal.

Sepak bola mestinya tetap jadi milik rakyat. Tapi dalam praktiknya, ia sangat rentan disetir oleh kapitalisme, bahkan dipolitisasi oleh elite. Kapitalisme tak bisa dilepaskan dari sepak bola modern. Banyak elemen suporter yang tak sadar, bahkan mesra dengan sistem itu. Padahal, di balik sorak-sorai stadion, ada sistem yang bisa merusak keaslian olahraga ini.

Namun bagi kami, sepak bola adalah alat perjuangan. Tribun adalah ruang menyuarakan yang dibungkam, menolak ketimpangan, dan mengingatkan agar klub tetap jadi milik publik. Banner kritis bisa kapan saja dibentangkan: untuk federasi, manajemen, atau bahkan sesama suporter yang fanatik membabi buta. Sepak bola adalah ruang konsolidasi, bukan pemberontakan, tapi pengorganisasian agar tak ada yang terpinggirkan.

Sepak bola lahir dari jalanan, tapi hari ini sebagian telah dirampas industri. Ia menjadi produk hiburan yang berorientasi pada untung-rugi. Namun cinta kami tak berubah, dan Semen Padang FC tetap memberi warna pada cara pandang itu.

Setiap kali Kabau Sirah bermain di kandang, kami saling menyapa di grup WhatsApp, janji bertemu di satu titik, menyiapkan minuman energi, jokes receh, dan chant yang akan menggema. Kawan-kawan dari berbagai latar belakang datang. Flare dinyalakan, lagu dinyanyikan, dan di sela-sela itu, kami tetap menolak kekerasan dan perampasan ruang. Stadion bukan tempat menakutkan, tapi tempat nyaman untuk bersama. Kami tetap percaya: kesenjangan harus dilawan, prinsip harus dijaga, dan kapitalisme harus diberi jarak.

Namun, kesenangan bersama tetap prioritas. Karena jadi suporter semestinya bukan soal gengsi, tapi soal setia dan bersenang-senang.

Dan sekarang, kompetisi sebentar lagi dimulai. Kegembiraan akan dijemput. Kesenjangan akan kembali kita lawan. Bukan hanya oleh saya, bukan hanya oleh kami, tapi oleh kita—semua.

Menonton Semen Padang FC bukan soal kalah atau menang. Tapi menyaksikan Kabau Sirah berlaga adalah tentang kebahagiaan. Ayo kawan, kembali ke Stadion Haji Agus Salim. Bernyanyi lagi, mencinta lagi.

Walau beda tribun, kita tetap satu stadion.
Padang till I die, I’m Padang till I die. Come on, camerad!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *