Nagari Aia Angek, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar, kini punya cerita baru. Bukan hanya sebagai daerah yang sejuk dan asri, tapi juga karena telah resmi menyandang predikat sebagai Kampung Bumbu Randang—sebuah gebrakan baru dalam dunia kuliner dan ekonomi lokal Sumatera Barat.
Pada Selasa (17/6/2025), dua sosok pemimpin muda hadir dan duduk satu panggung di tengah masyarakat. Wakil Bupati Tanah Datar, Ahmad Fadly, bersama Wakil Gubernur Sumbar, Vasco Ruseimy, tampak akrab berbincang soal potensi kampung, kuliner, dan peran anak muda dalam membangun nagari.
“Awalnya muncul keresahan,” kata Fadly, mengenang saat pertama kali mendengar bahwa bumbu randang yang beredar luas ternyata banyak berasal dari luar Minangkabau. “Padahal, kita punya semua bahan dan kearifan lokal. Kenapa tidak kita olah di kampung sendiri?”
Kampung Bumbu Randang pun lahir dari keresahan itu. Bukan sekadar label, tapi sebagai tempat hidupnya UMKM, petani, dan para penggiat kuliner lokal yang ingin membawa rasa Minang ke meja-meja dunia.
Di sisi lain, Vasco menambahkan bahwa pemilihan Aia Angek bukan tanpa alasan. “Tanah Datar itu Luhak Nan Tuo. Di sinilah asal muasal adat dan budaya Minang berkembang. Menjadikan kampung ini sebagai pusat bumbu randang, itu semacam pulang ke akar.”
Dalam suasana santai, keduanya saling mengisi. Fadly bicara soal pemberdayaan petani dan pentingnya keberlanjutan ekonomi lokal. Vasco menyoroti peran budaya dan potensi nagari sebagai ruang kreatif yang belum banyak digali.
“Bayangkan kalau tiap nagari punya produk khasnya sendiri, bisa ekspor, bisa jadi destinasi. Itu bukan angan-angan, itu kerja kolaboratif,” ucap Vasco sambil mengangguk ke arah para petani dan pelaku UMKM yang hadir.
Acara itu juga dihadiri oleh sejumlah tokoh dan pelaku usaha. Robbi Yanuar Walid , Direktur Manajemen Resiko,Kepatuhan, SDM dan Corporate Secretary PT Reasuransi Indonesia Utama menyebut dukungan korporasi bukan sekadar CSR, tapi bagian dari komitmen membangun daerah. Sementara Ketua HIPERMI, Fibrianti Takarina, menegaskan pentingnya rantai produksi lokal yang kuat agar randang benar-benar tumbuh dari tanah Minang, bukan sekadar label di kemasan.
Yang menarik, suasana acara terasa lebih seperti pertemuan keluarga besar ketimbang seremoni formal. Ada senyum yang tulus, tepuk tangan yang lepas, dan cita-cita yang dibagikan dalam bahasa sehari-hari. Seolah, di Aia Angek hari itu, para pemimpin turun dari panggung birokrasi untuk benar-benar mendengar, berdialog, dan bermimpi bersama rakyatnya.
Dan mungkin, dari sinilah resep baru Sumatera Barat sedang diracik: gabungan rasa, budaya, dan semangat dua pemimpin muda yang percaya bahwa kampung bisa jadi pusat peradaban—asal diberi ruang, waktu, dan kepercayaan.