Home / Politik / Dari Rumah Gadang ke Gedung Dewan: Cerita Sultan Muda Solok Selatan

Dari Rumah Gadang ke Gedung Dewan: Cerita Sultan Muda Solok Selatan

Sumbar Bersuara – Di usia 24 tahun, kebanyakan anak muda masih sibuk mengejar gelar, mencicil mimpi, atau mencoba menata hidup di antara tuntutan zaman yang serba cepat. Tapi di Solok Selatan, Sumatra Barat, ada satu nama yang justru sudah melangkah jauh ke tengah gelanggang politik: Sultan Alif Baloen.

Lahir 23 Mei 2000, Alif bukan hanya politisi muda. Ia adalah anggota DPRD Solok Selatan dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan kini duduk di Komisi III—yang membidangi urusan ekonomi, keuangan daerah, pertanian, UMKM, hingga perizinan dan investasi. Tapi perjalanannya ke gedung dewan tidak datang begitu saja. Ia hadir sebagai representasi dari generasi muda yang tumbuh di tengah pergulatan identitas, antara modernitas dan akar budaya yang begitu kuat.

Sebagai Ketua KNPI Solok Selatan, Alif mengenal baik dinamika pemuda—antara keinginan untuk maju dan keterikatan dengan tradisi. Tapi yang membuatnya istimewa, ia bukan sekadar aktivis atau politisi; ia juga seorang Tuanku Mudo Baloen, pewaris tahta Kerajaan Baloen yang rumah gadangnya berdiri di Kecamatan Koto Pariek Koto Di Ateh. Dalam masyarakat adat Minangkabau, posisi ini bukan cuma simbol, tapi sumber tanggung jawab moral dan sosial.

“Jadi muda itu bukan alasan untuk tidak mulai. Justru karena muda, kita harus lebih berani, tapi tetap tahu dari mana kita berasal,” ujarnya, sambil menatap bentangan sawah dari balik jendela rumah gadang peninggalan leluhurnya.

Di Solok Selatan, hidup sosial tak bisa dilepaskan dari nilai adat dan agama. Surau bukan hanya tempat ibadah, tapi ruang belajar yang membentuk karakter. Di sinilah Alif tumbuh, mendengar nasihat tetua, terlibat dalam musyawarah kampung, dan belajar bahwa kekuasaan bukan untuk dipamerkan, tapi untuk digunakan secara bijak.

Gaya politiknya sederhana: hadir dan mendengar. Ia masih sering duduk di lapau, menyapa petani, menanyakan kabar jalan yang rusak, atau sekadar menemani warga bercerita. Ia percaya, kebijakan yang baik lahir dari percakapan yang jujur dengan mereka yang paling terdampak.

“Kalau cuma mengejar angka, siapa pun bisa. Tapi membuat orang merasa dilibatkan, itu beda cerita,” katanya.

Sebagai Tuanku Mudo, ia tahu betul bahwa namanya membawa warisan. Tapi ia tak ingin hanya hidup dari nama besar. Sebaliknya, ia menjadikan nama itu sebagai pengingat: bahwa kepercayaan adalah hal yang mudah hilang jika tidak dijaga dengan kerja nyata.

Menjadi anak muda di politik tidak selalu mudah. Ia kerap dianggap “belum cukup umur”, “belum cukup jam terbang”. Tapi justru karena itulah, ia merasa perlu bekerja lebih keras, lebih konsisten, dan tetap rendah hati. “Saya tahu saya belum sempurna. Tapi niat saya jelas: ingin membawa manfaat bagi orang banyak,” ujarnya.

Sultan Alif menyimpan mimpi agar kampung halamannya tumbuh, tidak tertinggal. Ia ingin pemuda-pemuda Solok Selatan punya ruang untuk bergerak, tidak sekadar jadi penonton pembangunan. Menurutnya, anak muda hari ini bukan kurang bakat—mereka hanya butuh diberi panggung, dan didampingi.

Ia tak ingin Solok Selatan hanya dikenal dari alamnya yang indah, tapi juga dari semangat warganya yang tak tinggal diam. Dalam bayangannya, Solok Selatan bisa menjadi pusat gagasan segar dari anak-anak kampung yang tak malu dengan identitasnya.

Sebagai anak kampung yang kini duduk di kursi dewan, ia percaya bahwa menjadi modern bukan berarti meninggalkan tradisi. Dari rumah gadang di Baloen, ia belajar bahwa kekuatan sejati justru datang dari akar yang kuat. Dan hari ini, akar itu sedang menjulur pelan-pelan ke masa depan.

Karena menjadi muda bukan soal usia, tapi tentang keberanian untuk memulai. Dan di tengah kesibukan dunia yang serba cepat ini, Sultan Alif Baloen sedang berjalan pelan tapi pasti—menyatukan yang lama dan yang baru, yang lokal dan yang nasional, dengan keyakinan: bahwa perubahan bisa dimulai dari kampung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *