Oleh: Redho Rama P., S.IP, M.IP
Bicara soal Semen Padang FC, kita nggak cuma bicara soal klub bola. Kita sedang bicara tentang satu-satunya harapan dari Sumatra yang masih bertahan di Liga 1. Sendirian, tapi tetap berdiri. Di tengah hiruk-pikuk klub-klub tajir dari Jawa, keberadaan Kabau Sirah terasa seperti suara kecil yang menolak dibungkam. Sunyi, tapi bersikeras.
Dulu, kita masih ingat masa-masa Stadion Haji Agus Salim penuh sesak. Asap flare, bendera raksasa, dan nyanyian tribun menjadi bahasa sehari-hari tiap akhir pekan. Tapi sepak bola bukan cuma soal nostalgia. Ia adalah medan perebutan eksistensi. Ketika Semen Padang kembali promosi ke Liga 1, itu bukan sekadar keberhasilan teknis, tapi pernyataan politis: “Kami masih ada, kami masih layak.”
Sepak bola Indonesia punya dua wajah. Di satu sisi, dia hiburan rakyat. Dari anak-anak yang main bola plastik di lorong, sampai bapak-bapak yang nonton bareng di warung. Tapi di sisi lain, ia adalah arena kuasa—politik, modal, dan narasi.
Di titik ini, kita bisa pakai kacamata Michel Foucault. Foucault mengajarkan bahwa kuasa tidak selalu hadir dalam bentuk larangan atau represi. Ia justru bekerja dalam bentuk wacana, sistem, bahkan kebiasaan. Dalam sepak bola Indonesia, kuasa itu bisa kita lihat dari siapa yang punya akses ke layar televisi, siapa yang mudah disuntik sponsor, siapa yang sering dipanggil PSSI, dan siapa yang “boleh” juara. Kuasa bekerja dalam halusnya distribusi visibilitas dan legitimasi.
Dan realitas itu membuat kita sadar, bahwa sepak bola nasional tidak tumbuh dalam ruang yang netral. Ada klub-klub yang sejak awal dibentuk dalam lingkungan yang mendukung—punya akses modal, punya jaringan elite, punya kedekatan dengan pusat. Tapi di sisi lain, ada klub-klub yang harus berjuang lebih keras hanya untuk sekadar bertahan.
Secara kultural, Semen Padang merepresentasikan sesuatu yang lebih dari klub: ia adalah simbol dari Minangkabau yang ingin tetap hadir di panggung nasional. Di era ketika representasi daerah kian terpinggirkan, klub semacam ini adalah salah satu sedikit ruang publik yang tersisa untuk identitas lokal bersuara.
Suporter mereka bukan penonton pasif. Mereka bagian dari perjuangan. Mereka hadir di stadion, teriak dari tribun, dan tetap pulang meski kalah. Cinta mereka bukan soal hasil, tapi soal harga diri. Sepak bola, bagi mereka, adalah ruang berbagi, bukan sekadar tontonan.
Jadi, saat Semen Padang bersiap menghadapi Liga 1, pertanyaannya bukan hanya: “bisa bertahan nggak?” Tapi: “apakah masyarakat Minang masih mau berdiri di belakangnya?” Karena ini bukan cuma soal menang atau kalah, tapi soal menjaga ruang untuk identitas, eksistensi, dan—seperti kata Foucault—kuasa yang bisa datang dari pinggiran.
Semen Padang adalah simbol. Dan simbol, kalau dijaga, bisa lebih kuat dari sekadar skor.